2010/10/26

Kyai itu Apa Sich....?????

Pengertian Kiyai...........?????

    Dalam buku Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MS menjelaskan sebagai berikut:

   Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atau Bendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru.   Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada  ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1]   Sering pula para wali ini dipanggil dengan Sunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab (keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.[3]
   Selain itu, terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]
    Gelar Kiai sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis, Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.
    Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:
     “…kami menyerukan kepada penanya dan saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do’a-doa untuk menolak penyakit, pen) lalu pelajari  sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.
   Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang telah luas pandangannya.
   Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara, maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).
    Ada Kiyai berarti Pak Dukun.
    Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang) berarti District-hoofd (Wedana).
   Di Padang (sebelum perang), Kiyai artinya “Cino Tuo” (Orang Tionghoa yang telah berumur).
   Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai Sekati dan Nyi Sekati.
   Dalang  yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.
   Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul Wulung.[5]
    Meskipun Hamka mampu menjelaskan kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan, “kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.
Di seluruh pulau Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Bertahun-tahun lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul) Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel “Kiyai”, padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) pada masa sebelum perang.
Tetapi di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.
Rupanya kata-kata ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]
Setelah kita mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam). Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya ‘Asyuro, hari kesepuluh Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akan ngrejekeni (memberi rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.
Sementara itu upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah “thawaf” mengelilingi benteng Mangkunegaran,  Jalan raya melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka’bah, tetapi membisu. Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi adalah Ka’bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang “thawaf” di Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan (kalau Thawaf, Ka’bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam satu Syuro., dan harus “puasa” bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol. Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.
   Jadi ada kerbau yang dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid’ah menthawafi  (mengelilingi) benteng dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan penulis.

   Lantas, siapa yang menjuluki Kiyai itu?
Hamka pun tidak menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang berwenang menjuluki Kiyai,  sebagai berikut:
“Nampaknya tidak ada suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai. Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu. Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan orang Jawa.”[7]
   Jawaban Hamka itu dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi’i, menurut orang kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian  terkenal lewat radionya-As-Syafi’iyah, demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi’i Hazami, yang memang ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi’i menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir,  yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana dipaparkan oleh Ridwan Saidi:
   “Jika seluruh bangsa Indonesia yang tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun ke negeri  Belanda. Sampai di Mekah mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam  yang duduk di tingkat bawah, melainkan  –sekurang-kurangnya—menjadi orang menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa nama yang di ujung nama itu disebut “:Betawi”: Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang (1994, pen)  dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun Jeddah.[8]
    Dari sini bisa difahami bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai  untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
    Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
   Adapun ulama ataupun da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada  istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi saw. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
    (Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan  mengaku kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu). 
   Tampaknya tradisi munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan” Nabi saw dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”.
    Kini, setelah muncul Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah “Ulama Betawi” sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.

    Sebutan Kiyai mungkin lebih diminati dan ni’mati
    Kalau ditilik dari segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan Kiyai itulah yang  lebih mereka minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul  dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali, yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai orang yang wara’ (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang haram) sudah tercabut dari “keharusan”. Kan malah lebih gampang. Kenapa repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang berat-berat yaitu “Guru” apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin capek (payah) saja.
    Begitulah kira-kira, kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada mereka. Walaupun tentu saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu’ (yaitu ulama yang jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu’ itu di antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun – لص ). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula, sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan menghancurkan  masjid, madrasah, panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid’ah, Khurofat, dan syirik yang jadi “kareman” (kegemaran) si perusak ini, dulu  tidak punya alasan  untuk menolak pemberantasan bid’ah itu dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid’ah. Nah sekarang mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat, yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid’ah, maka masjid ataupun sarana da’wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid’ah pun kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang “karem” (gemar) bid’ah itu bersama kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR, lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.
    Tidak puas hanya merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki bid’ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar. Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu’ atau orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu’, mereka ramai-ramai menebangi ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa Timur dalam rangka ‘ashobiyah (fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam, membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman. Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah demikian?
       Antara ajaran Islam dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh, bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu bahkan ashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan, demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da’i, yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan “manfaat” dari segi kepentingan untuk “dimunduk-munduki“, maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai, yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur adanya “kebiasaan munduk-munduk” dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai. Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering menonjol-nonjolkan Hadits Al-‘Ulamaau warotsatul Anbiyaa’. Ulama itu pewaris para Nabi.
   Kenapa lebih pilih julukan Kiyai?
   Karena, di samping hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak kecaman terhadap ulama’ suu’ (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu’ (jahat). Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu’ (jahat). Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang, karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.

   Julukan Kiyai untuk ulama perlu dihapus
   Kalau hal ini dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah persoalannya pula.
    Dari kenyataan itu, maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
    Seandainya para ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena memang di dalam Islam tidak ada istilah  Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai, tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil (disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan (diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang terpilih dalam jam’iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti oleh  sponsor yaitu pabrik rokok.
   Antara “harus” membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai, semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu  muncul lagi serta lebih sarat makna, dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat. Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka, keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat, karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu’tabaroh) yang mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah buruk ulama suu’.
    Dikhawatirkan akan muncul pandangan: “Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada yang suu’ (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama. Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai, boleh-boleh saja…”
    Sekali pintu kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang bervariasi dan bisa lebih besar lagi. Sebutan Kiyai di sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah Islam, yaitu ulama atau alim atau ‘allamah, atau syaikh seperti yang berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau diteladani, sedang yang jahat atau suu’ bisa disingkiri, karena kriterianya sudah jelas.
   Adapun sebutan Kiyai yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau ‘allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang siapa yang bisa dijuluki syaikh atau ‘alim atau ‘allamah. Bukan sekadar hafal syair ya Robbi bil Mushthofa (  يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا  yang syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali tidak syar’i) lalu diberi gelar ‘alim atau ‘ulama atau ‘allamah, sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.
    Apakah para Kiyai akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a’lam. Itu urusan mereka. Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau memang mereka istiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan, perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti kaidah saddudz dzarooi’ yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan saddudz dzaroi’  itu.
   Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan. [Dikutip dari Buku “Bila Kyai Dipertuhankan”].

Catatan Kaki :
[1] Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban, Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988,  halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto, Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram  Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.
[2] Sunan di sini bukan bentuk jama’ (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi) tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.
[3] Ibnu Qoyim Isma’i, ibid, halaman 62.
[4] Ibid, halaman 63.
[5] Majalah Gema Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan  menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta,  cetakan IV, 1985, halaman 397-398.   
[6] Ibid, halaman 400
[7] Ibid, halaman 401.
[8] Ridwan Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, LSIP, Jakarta, cetakan pertama 1994, halaman 212.




2010/10/21

Apa itu Sanad & Matan.......?????

Sanad & Matan 


Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.

Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.

Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.

Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”
[1]


Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.

Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"
[2]

Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.


PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti:

"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.
[3]

Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.

[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.
[4]
 
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]


Catatan Kaki:

[1] Muqaddimah Shahih Muslim.

[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).

[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).

[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31).

Pengertian Hadits

Arti Hadits 


Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
  • Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
    • Hadits Mutawatir
    • Hadits Ahad
      • Hadits Shahih
      • Hadits Hasan
      • Hadits Dha'if
  • Menurut Macam Periwayatannya
    • Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
    • Hadits yang terputus sanadnya
      • Hadits Mu'allaq
      • Hadits Mursal
      • Hadits Mudallas
      • Hadits Munqathi
      • Hadits Mu'dhol
  • Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
    • Hadits Maudhu'
    • Hadits Matruk
    • Hadits Mungkar
    • Hadits Mu'allal
    • Hadits Mudhthorib
    • Hadits Maqlub
    • Hadits Munqalib
    • Hadits Mudraj
    • Hadits Syadz
  • Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
  • Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
     

I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi

I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
  1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
  2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
  3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
     

I.B. Hadits Ahad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih

Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
  1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
  2. Harus bersambung sanadnya
  3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
  4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
  5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
  6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan

Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha'if

Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
 

II. Menurut Macam Periwayatannya

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya

Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
 

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu'allaq

Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.

II.B.2. Hadits Mursal

Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas

Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi

Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.

II.B.5. Hadits Mu'dhol

Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallamatau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.

III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi

III.A. Hadits Maudhu'

Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.

III.B. Hadits Matruk

Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

III.C. Hadits Mungkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu'allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

III.I. Hadits Syadz

Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits

IV.A. Muttafaq 'Alaih

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.

IV.B. As Sab'ah

As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
  1. Imam Ahmad
  2. Imam Bukhari
  3. Imam Muslim
  4. Imam Abu Daud
  5. Imam Tirmidzi
  6. Imam Nasa'i
  7. Imam Ibnu Majah

IV.C. As Sittah

Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.

IV.D. Al Khamsah

Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.E. Al Arba'ah

Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.F. Ats tsalatsah

Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

IV.G. Perawi

Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

IV.H. Sanad

Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

IV.I. Matan

Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer

  1. Shahih Bukhari
  2. Shahih Muslim
  3. Riyadhus Shalihin

Disalin Ulang & Telah dikoreksi dari Kitab Syarah Bulughul Marom Oleh : Abu Salma Al Jauzaa'





Begitu Hebatnya syaikh Al-Albany dalam berdialog

Syaikh Al-Bany (Wafat 1420 H), pemuka ulama hadits abad ini, juga memberikan perhatian besar terhadap para pemuda. Dikatakan oleh Syaikh Dr. 'Abdul 'Aziz as-Sadhan bahwa banyak peristiwa penting yang beliau lalui bersama para remaja. Disini akan ditampilkan bagaimana kesabaran beliau dalam meladeni kaum muda yang terkena virus takfir (mudah mengkafirkan orang) dan mematahkan syubhat-syubhat (kerancuan landasan pemikiran) mereka. Berikut ini salah satu kisahnnya.

Syaikh Dr. Basim Faishal Al-Jawabirah hafidzahullah menceritakan, “...Saat itu aku masih belajar di jenjang SMA.  Bersama beberapa pemuda, aku mengkafirkan kaum muslimin dan enggan mendirikan shalat di mesjid-mesjid umum. Alasan kami, karena mereka adalah masyarakat jahiliyah. Orang-orang yang menentang kami selalu saja menyebut-nyebut nama Syaikh Al-Albany satu-satunya orang yang mereka anggap sanggup berdialog dengan kami dan mampu melegakan kami dengan argumen-argumen tajamnya serta mengembalikan kami ke jalan yang lurus.

Ketika syaikh Al Bany datang ke Yordania dari Damaskus, beliau diberitahukan adanya sekelompok pemuda yang seringkali mengkafirkan kaum muslimin. Beliau lantas mengutus menantunya, Nizham Sakkajha kepada kami untuk menyampaikan keinginan beliau untuk berjumpa dengan kami. Dengan tegas kami jawab “Siapa yang ingin berjumpa dengan kami, dia harus datang kesini, bukan kami yang datang kepadanya”. Akan tetapi, syaikh panutan kami dalam takfir, memberitahukan bahwa Al-Bany termasuk ulama besar Islam, ilmunya dalam dan sudah berusia tua. Ia pun mengarahkan supaya kamilah yang mendatangi beliau.

Lantas kamipun mendatangi syaikh Al bany di rumah menantunya, Nizham menjelang shalat 'Isya. Tak berapa lama, salah seorang dari  kami mengumandangkan adzan. Setelah Iqamah, Syaikh Al-Bany berkata “Kami yang menjadi imam atau imam shalat dari kalian?”, Syaikh kami dalam takfir berujar “Kami meyakini Anda seorang kafir” Syaikh Al-Bany menjawab “Kami masih yakin kalian orang-orang beriman (kaum muslimin).

Syaikh kami akhirnya memimpin shalat. Usai shalat, Syaikh Al-Bany duduk bersila melayani diskusi dengan kami sampai larut malam, Syaikh kamilah yang berdialog dengan syaikh Al-Bany. Sedangkan kami dalam rentang waktu yang lama itu, sesekali berdiri, duduk lagi, merentangkan kaki dan berbaring. Anehnya, kami lihat Syaikh Al-Bany tetap dalam posisi awalnya, tidak berubah sedikitpun, meladeni argumen  beberapa orang. Saat itu, aku benar-benar takjub dengan kesabaran dan ketahanan beliau !!

Kemudian, kami masih mengikat janji untuk berjumpa lagi dengan beliau keesokan hari. Sepulangnya kami ke rumah, kami mengumpulkan dalil-dalil yang menurut kami mendukung takfir yang selama ini kami lakukan.Kemudian Syaikh Al-Bany hadir di salah satu rumah teman kami.Persiapan buku dan bantahan terhadap syaikh Al-Bany telah kami sediakan. Pada kesempatan kedua ini, dialog berlangsung setelah shalat 'isya sampai menjelang fajar menyingsing.

Perjumpaan ketiga berlangsung di rumah Syaikh Al-Bany, kami berangkat ke rumah beliau setelah 'Isya. Dialog yang ketiga ini berlangsung sampai adzan subuh berkumandang. Kami mengemukakan banyak ayat yang memuat penetapan takfir secara eksplisit. Begitu pula hadits-hadits yang mengandung muatan sama yang menetapkan kekufuran orang yang berbuat dosa besar. Setiap kali menghadapi argumen-argumen itu, Syaikh Al-Bany dapat mematahkannya dan justru 'menyerang' balik dengan membawakan dalil yang lain. Setelah itu, beliau memadukan dalil-dalil yang tampaknya saling bertolak belakang itu, menguatkannya dengan keterangan para ulama salaf dan tokoh-tokoh umat Islam terkemuka di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Begitu adzan Subuh terdengar, sebagian besar dari kami bergegas bersama Syaikh Al-Bany menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Kami telah merasa puas dengan jawaban Syaikh Al-Bany tentang kesalahan dan kepincangan pemikiran yang sebelumnya kami pegangi. Dan saat itu juga kami melepaskan pemikiran-pemikiran takfir tersebut, alhamdulillah. Hanya saja, ada beberapa gelintir dari kawan kami yang tetap menolaknya. Beberapa tahun kemudian, kami mendapati mereka murtad dari Islam. Semoga Allah memberikan kepada kita keselamatan.

Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita sekalian untuk  mengambil pelajaran dari sejarah ulama Islam.

Diadaptasi dari “Al-Imam al-Bany, Durus wa mawaqif wa 'ibar”, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Muhammad bin 'Abdullah As-Sadhan, Darut Tauhid Riyadh Cet I, Th 1429H-2008 M, hal 155-158.

http://www.facebook.com/note.php?ote_id=166487763378419&comments&ref=notif&notif_t=note_reply

2010/10/20

Kekokohan Agama dimulai dari Pondasinya

Mengkaji jejak keberhasilan umat terdahulu dalam mengangkat dan menyebarkan syiar-syiar Islam adalah sesuatu yang mulia. Karena belajar dari sebuah keberhasilan dan berupaya untuk meneladaninya juga merupakan keberhasilan.
Para nabi dan rasul telah berhasil menjalankan amanat dan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak hati yang tertutup menjadi terbuka dengan hidayah, sirnanya kekufuran dan keingkaran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, runtuhnya kekuasaan ajaran iblis, serta hancurnya hukum-hukum thagut yang sebelumnya bercokol.
Masa kegemilangan itupun berlalu, kejayaan itu di masa sekarang bagaikan fatamorgana dalam bayangan teriknya matahari di padang sahara, yang bila didekati hilang begitu saja. Dimanakah letak rahasia kejayaan mereka? Dan di manakah letak dan penyebab kegagalan kita?
Kedua pertanyaan ini butuh jawaban.
Ada dua rahasia dan sebab keberhasilan perjuangan di masa lampau dalam mengibarkan panji-panji tauhid, merombak kebusukan keyakinan jahiliyah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, penyelewengan yang sangat parah, dan bercokolnya kesesatan di benak setiap insani, keberhasilan dalam menumbangkan dan meruntuhkan tahta thagutiyyah, Fir’aunisme, Majusiyyah, Shabi’iyyah dan dinasti-dinasti jahiliyah. Keberhasilan menghidupkan hati yang sudah mati, mengetuk gendang telinga yang sudah tuli dan membuka mata yang sudah buta sebelum membuka dan menaklukkan berbagai negeri.
Pertama: Kemurnian perjuangan yang dibangun di atas keikhlasan semata-mata mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah rahasia pertama dan utama landasan keberhasilan perjuangan mereka. Landasan yang merupakan sumber kekuatan dan keberanian dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Ia merupakan sumber munculnya sikap tabah dalam menghadapi segala bentuk ujian dan rintangan dalam mengemban amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan keikhlasan, semua beban hidup yang berat akan menjadi ringan, yang besar akan menjadi kecil dan yang sulit akan menjadi mudah. Intisari ikhlas itulah kalimat tauhid “Laa Ilaha illallah.” Keikhlasan merupakan landasan pengabdian para nabi dan rasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam banyak ayat menjelaskan:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Az-Zumar: 2)

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ. وَأُمِرْتُ لأَنْ أَكُوْنَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya. Dan aku diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama kali menyerahkan dirinya.” (Az-Zumar: 11-12)

قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِيْنِي

“Katakanlah: Aku menyembah kepada Allah dengan mengikhlaskan baginya agamaku.” (Az-Zumar: 14)

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah hanya kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi Allah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوْسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا

"Dan ingatlah di dalam kitab tentang nabi Musa sesungguhnya dia adalah seorang yang dipilih dan beliau adalah seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 51)
Masih teringat dalam benak kita kekejaman dan keangkuhan Fir’aun, sebuah kekejaman yang tiada tara yaitu dengan membunuh anak laki-laki yang menurut dia akan membahayakan tahta kekufuran yang berada dalam kaki dan taring keberingasannya. Angkuh sampai menobatkan dan memproklamirkan dirinya sebagai tuhan sesembahan semesta alam.

فَحَشَرَ فَنَادَى. فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى

“Lalu dia mengumpulkan (bala tentaranya) lalu menyeru: Aku adalah tuhan kalian yang tinggi.” (An-Nazi’at: 23-24)
Keberingasan dan keangkuhannya tidak memberinya manfaat dalam menyebarkan manuver-manuver kufurnya. Sebagian bala tentaranya harus jujur mengakui kebenaran kerasulan Nabi Musa. Sekali lagi kemenangan, keberhasilan, kejayaan bersama orang yang ikhlas.
Kedua: Mereka tidak keluar dalam berjuang dari jalur dan garis yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sikap ketundukan dan siap menerima titah adalah jalan keberhasilan para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka di setiap masa. Mereka berjalan dalam jalur Ilahi, berkata dalam batasan pengajaran-Nya, diam dan bergerak dalam bimbingan-Nya. Mereka tidak mengolah dan merancang bagaimana cara menyelamatkan umat dari segala bentuk kerusakan dan kebiadaban hidup serta kekejaman para penentang dan musuh-musuh mereka dengan keluar dari bimbingan wahyu.
Mereka yakin bahwa kemenangan akan diraih melalui jalan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kegagalan karena menyelisihi perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bagi hamba jalan yang akan mendatangkan kemaslahatan dan telah memperingatkan dari jalan yang akan memudaratkan.
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk melakukan sesuatu berarti dalam perintahnya terdapat maslahat hidup bagi mereka di dunia dan di akhirat dan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk melakukan sesuatu berarti dalam larangan itu kemudaratan dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci kesyirikan, karena kesyirikan tersebut akan mengantarkan kepada malapetaka hidup di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan kebid’ahan karena mengandung kerusakan di dalam mengejar maslahat hidup dunia dan akhirat.
Allah mengharamkan khamr, judi, mencuri, berzina, membunuh tanpa alasan yang benar, memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, berbuat kedzaliman, durhaka kepada kedua orang tua, berdusta, menipu, curang dalam timbangan dan sebagainya, karena perbuatan tersebut akan mengantarkan kepada kebinasaan dunia dan azab di akhirat.
Tugas perombakan yang dilakukan oleh para nabi dan Rasul serta para pengikut mereka tidak keluar dari koridor wahyu. Jalan wahyu bukanlah jalan yang penuh taburan bunga dan siraman bau yang semerbak. Akan tetapi penuh dengan duri dan sengatan yang berbisa.
Ujian datang silih berganti, rintangan datang bertubi-tubi menghunjam qalbu dan raga orang-orang yang melewatinya. Demikian dahsyatnya hingga menyesakkan dada. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkisah tentang ucapan mereka dalam situasi yang genting tersebut dalam sebuah firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلاَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ

“Apakah kalian mengira akan masuk ke dalam surga sementara belum datang kepada kalian (ujian) yang telah menimpa orang-orang sebelum kalian, (mereka) ditimpa oleh berbagai penyakit, marabahaya dan kegoncangan sampai-sampai Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersamanya mengatakan: ‘Kapan pertolongan Allah datang?’ (Allah) menjawab: ‘Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.’” (Al-Baqarah: 214)
Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai penyakit, malapetaka, dan segala yang memberatkan hidup sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat atas orang sebelum mereka. Ini merupakan ketetapan sunnah-Nya yang tidak akan berubah dan terevisi. Barangsiapa menegakkan agama-Nya dan syariat-Nya, Dia pasti akan mengujinya dan jika dia bersabar atas keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dan tidak peduli dengan kesengsaraan yang terjadi di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang yang jujur dan telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna serta kepemimpinan yang tinggi.
Barangsiapa menjadikan fitnah manusia bagaikan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk dia terhalangi untuk melangsungkan usahanya dan dipalingkan oleh ujian dari tujuannya maka dia adalah orang yang berdusta dalam keimanannya. Karena bukan iman bila hanya perhiasan dan angan-angan belaka atau hanya sekedar pengakuan sehingga amalnya yang akan membenarkan atau mendustakannya… Kemudian karena kerasnya ujian dan sempitnya dada (dalam memikulnya), Rasulullah dan orang-orang yang menyertainya dalam keimanan berkata: “Kapan datang pertolongan Allah?”, maka di saat kemudahan datang setelah kesempitan dan ketika kesempitan menjadi luas Allah berfirman: “Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” Demikianlah, setiap orang yang menegakkan kebenaran mesti akan diuji. Tatkala ujian itu dahsyat dan berbahaya dan dia bersabar dan tabah hati niscaya ujian itu akan berubah menjadi nikmat serta kesulitan menjadi kemudahan. Dan setelah itu datangnya pertolongan atas musuh-musuh dan tersembuhkannya hati dari segala yang dirasakan.” (Tafsir As-Sa’di hal. 79)
Pergolakan demi pergolakan pun terjadi dan segala kenyataan pahit harus ditelan. Perjalanan sunnatullah yang demikian tidaklah menjadikan mereka melepaskan kebenaran menuju sebuah kemenangan, kejayaan, dan keberhasilan.
Mustahil akan mendapatkan kejayaan bila dengan cara potong kompas, yaitu meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menguburnya. Keharusan mengikuti tuntunan syariat menuju kemuliaan, kejayaan dan kemenangan telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak firman-Nya di antaranya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Katakanlah: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha pengampun dan Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Bentuk cinta mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ittiba’ mereka kepada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Tafsir beliau (2/204) dari Abu Darda` beliau berkata (dalam menafsirkan kata) ‘Ikutilah aku’: “(Ikutilah aku) dalam kebaikan, ketaqwaan, tawadhu’, dan merendah diri.”

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik (yaitu) bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim, beliau bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintah dariku amalan tersebut tertolak.”

Memetik Buah Dua Kalimat Syahadat, Sebagai Pondasi Islam
Teramat ironis jika ada orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai pondasi bangunan agama dan keyakinannya, namun terus menerus berlumuran dan berkubang dalam kemaksiatan. Padahal nilai besar dan buah yang agung yang bakal dipetik dari kalimat ini adalah sesuatu yang tidak bisa dimungkiri.
Para dedengkot kekufuran dan kesyirikan di masa lalu, berubah menjadi orang yang paling baik di dalam agama ini setelah mereka mengikrarkan dua kalimat syahadat. Mereka telah berhasil memetik nilai-nilai keimanan yang benar dalam pengikraran mereka. Sehingga keimanan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dan kokoh. Keimanan yang benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dan pengamalan yang bersih dari noda-noda yang mengotorinya, kepatuhan dan ketundukan yang sempurna menjadi amaliyah yang besar dalam kehidupan para shahabat.
Nilai-nilai keimanan yang akan dipetik melalui dua kalimat syahadat adalah:
1. Membentuk kepribadian yang ikhlas atau bertauhid.
2. Pengabdian yang murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Ibadah yang tidak keluar dari garis syariat.
4. Ketundukan, kepatuhan dalam mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
5. Kecintaan yang hakiki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya.
6. Mensyukuri segala yang terkait dengan pengutusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Syarah Ushul Iman hal. 19 dan 28)
Memetik nilai-nilai yang mulia dalam kedua kalimat ini sangat ditopang dengan kebagusan pemahaman dan pengamalan terhadap Islam secara menyeluruh. Para shahabat terdahulu mereka bisa memetik nilai-nilai mulia dengan begitu mudah dan tepat dikarenakan kebersihan dan kemurnian ilmu yang mereka timba dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti bila seseorang ingin memetik nilai-nilai kemuliaan dari dua kalimat ini maka harus pula menempuh jalan yang telah mereka tempuh dalam memahami dan mengamalkan Islam secara menyeluruh. Itulah jalan Salafus shalih umat ini.

Kesempurnaan Islam dengan Menyempurnakan Landasannya
Segenap kaum muslimin telah memaklumi bahwa sebuah bangunan bila tidak didirikan di atas pondasi yang kuat akan cepat runtuh dan hancur. Begitu juga bangunan Islam bila tidak dibangun di atas landasan yang kokoh dan kuat akan cepat runtuh. Namun keruntuhan yang bersifat duniawi tidak sama dengan keruntuhan yang bersifat ukhrawi karena keruntuhan yang bersifat duniawi adalah sementara sedangkan keruntuhan yang bersifat ukhrawi adalah abadi yang akan berakhir dengan ancaman dan murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika keruntuhan bangunan duniawi saja akan mengakibatkan kerugian yang besar, maka keruntuhan ukhrawi jauh lebih besar lagi kerugiannya.

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 109)
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima landasan (yaitu) bersyahadat Laa ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.”
Ibnu Rajab menjelaskan: “Yang dimaksud dengan permisalan bahwa Islam dibangun di atas tiang-tiang ini adalah tidak akan kokoh (bangunan Islam) melainkan dengannya. Adapun bagian-bagian Islam yang lain bagaikan penyempurna suatu bangunan. Jika salah satu dari penyempurna tersebut kurang niscaya bangunannya akan kurang pula namun bangunan tersebut tetap berdiri dan tidak akan runtuh. Berbeda halnya jika landasan yang lima ini runtuh, Islam akan sirna apabila kelima landasan ini hilang dengan tidak ada keraguan lagi. Demikian juga akan hilang bila hilang dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 62)

Syarat-syarat Kekokohan Pondasi
Dari sini kita mengetahui bahwa kesempurnaan agama seseorang dan segala bangunan yang berdiri di atasnya sangat tergantung pada kekokohan pondasi bangunan tersebut. Syarat agar landasan itu kokoh terlalu banyak dan landasan bangunan Islam adalah dua kalimat syahadat dan kekokohan bangunan ada pada kesanggupan untuk menyempurnakan syarat-syaratnya.
Wahb bin Munabbih menggambarkan sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari: “Setiap kunci memiliki gigi-gigi, dan kunci surga adalah Laa Ilaha illallah."
Beliau juga berkata: “Gigi-gigi kunci tersebut adalah syaratnya, jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi niscaya akan terbuka pintunya dan jika tidak memiliki gigi tidak akan dibuka bagimu." (lihat Tuhfatul Murid hal. 2)
Laa Ilaha illallah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap pengikrarnya. Semua syarat tersebut tidak diharuskan untuk dihafal akan tetapi cukup untuk diamalkan kandungannya walaupun tidak dihafal. (lihat Tuhfatul Murid hal. 3)
Syarat-syaratnya terhimpun dalam bait syair dibawah ini:

عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلِ لَهَا

Ilmu, yakin dan ikhlas berikut kejujuranmu bersama.
Cinta, ketundukan dan kepasrahan menerimanya.

Syarat pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah
Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaha illallah sembari mereka menyangkal.

أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan tuhan-tuhan (ini) menjadi satu tuhan? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)
Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (Az-Zukhruf: 86)

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga .”

Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya.
Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan zhan (praduga) belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (Al-Hujurat: 15)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .”

Sٍyarat Ketiga: Ikhlas
Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan.

فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ

“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Az-Zumar: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ

“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Lailahaillallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya .”
Dari ‘Itban bin Malik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Lailahaillallah semata-mata mencari wajah Allah .”

Syarat Keempat: Jujur
Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa Ilaha illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ألم, أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِيْنَ

“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benarbenar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-2)
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلىَ النَّارِ

“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya .”

Syarat Kelima: Cinta
Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ

“Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya.

Syarat Keenam: Ketundukan
Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan.

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

“Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuat baik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Luqman: 22)

Syarat Ketujuh: Menerima
Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut.

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُوْنٍ

"Sesungguhnya mereka jika diserukan untuk mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah mereka menyombongkan diri. Dan mereka seraya berkata: Bagaimana kami akan meninggalkan tuhan-tuhan kami karena (seruan) seorang yang gila.” (Ash-Shaffat: 35-36) [lihat ‘Aqidah Tauhid hal. 53-57 karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid hal. 28-33 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Laa Ilaha illallah Ma’naha wa Makanaha wa Muqtadhaha hal. 14-15, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2, karya Nu’man Al-Watr]
Pembaca yang budiman, demikianlah gambaran kecil tentang syarat kalimat tauhid yang merupakan intisari dakwah para nabi dan karenanya diturunkan kitab-kitab. Maka jika kita menginginkan kekokohan dalam agama, sempurnakanlah pondasi bangunan Islam tersebut. Demikianlah makna ucapan Ibnu Rajab Al-Hambali sebagaimana di atas.
Wallahu a’lam.

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah